Setelah selesai merapikan barang di tempat saya dan kawan-kawan tinggal, Hotel Diwan Al-Aseel, kami bersiap berangkat ke Makkah. Sebelum ke Madinah, saya dan kawan-kawan akan melakukan umrah sunah sekali lagi dan kemudian diakhiri dengan tawaf wada, tawaf perpisahan meninggalkan Kota Makkah.
Semula, kami berencana langsung ke Makkah pada Senin dinihari. Namun, pengemudi setia tim MCH Bandara, Abdul Cholid Ahmad, merasa lelah dan kurang enak badan. Kondisinya tidak prima. Akhirnya, kami memutuskan menunda keberangkatan sampai Senin sore untuk memberi waktu istirahat Pak Cholid.
Menjelang Ashar, Pak Cholid sudah datang menjemput kami di hotel. Sebelum ke Makkah, kami diajak mampir ke rumahnya untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan istri Pak Cholid. Usai Maghrib, kami bertolak ke Masjidil Haram dengan pakaian ihram.
Sampai di Masjidil Haram sudah pukul 20.30 waktu Arab Saudi. Suasana masjid terbesar di dunia itu relatif sepi dan sudah tak begitu ramai dengan jamaah haji. Sebagain besar jamaah haji sudah pulang ke negaranya masing-masing. Dengan alasan belum pernah melakukan tawaf di lantai tiga sebelumnya, kami memutuskan untuk bertawaf di lantai tiga.
Masuk melalui jalan khusus yang disediakan untuk para pengguna kursi roda, kami mengambil jalan sedikit memutar. Sampai di mataf (tempat tawaf) lantai tiga, kami menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang Ka’bah dan jamaah sedang bertawaf yang berada di bawah kami. Setelah itu, kami menunaikan shalat Isya dan kemudian bertawaf.
Di mataf khusus untuk para pengguna kursi roda ini, jamaah nampak leluasa berjalan. Sebagian di antaranya memilih duduk-duduk menghadap pagar fiber transparan pembatas mataf. Mereka tampak berdoa dan bertafakur sambil menatap Ka’bah. Atap Ka’bah terlihat dari mataf lantai tiga. Di tempat tawaf ini pula dijumpai jamaah yang menggunakan kursi roda elektrik untuk bertawaf. Sangat leluasa.
Selesai melakukan tawaf, saya dan teman-teman shalat di area yang segaris lurus dengan maqam Ibrahim. Selanjutnya kami turun ke bawah dan menuju tempat sai (masa’a) dan bertahalul untuk merampungkan umrah kami.
Setelah tahalul, saya dan teman-teman langsung melakukan tawaf wada. Tawaf ini merupakan tawaf perpisahan sebelum kami meninggalkan Kota Makkah. Mataf di lantai dasar masih ramai dengan jamaah berbagai negara. Saya duga kebanyakan jamah juga sedang melakukan tawaf wada lantaran banyak yang tidak mengenakan pakaian ihram.
Setelah selesai menjalani tujuh putaran mengelilingi Ka’bah, saya dan kawan saya, Bayu langsung berdoa di area tepat di depan multazam. Tiga teman lain tidak tampak karena sudah terpisah sejak putaran pertama tawaf.
Belum selesai berdoa, seorang petugas meminta kami tidak berhenti di lintasan tawaf dan berpindah menjauhi Ka’bah. Saya dan Bayu pun berpindah dan berputar ke belakang mencari tempat yang lurus dengan multazam untuk melanjutkan doa.
Usai berdoa, saya dan Bayu mencari teman-teman lain. Akhirnya, kami semua berjumpa di dekat pilar tempat kami meletakkan sandal. Saya pun mengusulkan untuk lebih dulu masuk ke Hijir Ismail sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan Ka’bah. Namun, hanya saya, Bayu, dan Wawan yang setuju. Sunu dan Bambang memilih menunggu.
Masuk ke Hijir Ismail tidak sesulit pada saat masih banyak jamaah di Masjidil Haram. Kendati demikian, kondisi di dalam Hijir Ismail tetaplah berdesak-desakan. Kami bertiga kemudian mencoba mencari ruang untuk shalat sunah dengan cara membarikade ruang kecil di antara jamaah yang berdesakan. Walaupun penuh sesak, jamaah lain akan menghormati jamaah yang sedang shalat.
Usai berdoa, saya dan Bayu mencari teman-teman lain. Akhirnya, kami semua berjumpa di dekat pilar tempat kami meletakkan sandal. Saya pun mengusulkan untuk lebih dulu masuk ke Hijir Ismail sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan Ka’bah. Namun, hanya saya, Bayu, dan Wawan yang setuju. Sunu dan Bambang memilih menunggu.
Masuk ke Hijir Ismail tidak sesulit pada saat masih banyak jamaah di Masjidil Haram. Kendati demikian, kondisi di dalam Hijir Ismail tetaplah berdesak-desakan. Kami bertiga kemudian mencoba mencari ruang untuk shalat sunah dengan cara membarikade ruang kecil di antara jamaah yang berdesakan. Walaupun penuh sesak, jamaah lain akan menghormati jamaah yang sedang shalat.
Nah, mencari ruang untuk bisa mendirikan shalat itulah yang sulit. Biasanya, jamaah membuat barikade untuk memberi ruang kawannya shalat. Seorang jamaah haji asal India, Habib, bergabung bersama kami bertiga untuk membuat barikade. Kami pun mendapatkan ruang shalat kendati harus menahan gelombang dorongan jamaah lain yang terus merangsek masuk ke Hijir Ismail. Bayu, Wawan, saya, dan Habib akhirnya bisa menunaikan shalat sunah di Hijir Ismail secara bergantian.
“Barakallah. Mabrur, ya Hajj,” begitu kata saya kepada Habib. Dia pun mengamini. Kami masing-masing berpelukan, kemudian meninggalkan Hijir Ismail.
Sebelum keluar, saya dan Wawan mengambil kesempatan untuk merapatkan tubuh ke dinding Ka’bah. Saya memang sudah berniat ingin menyentuh Ka’bah terakhir kali sebelum pergi meninggalkan Makkah.
“Barakallah. Mabrur, ya Hajj,” begitu kata saya kepada Habib. Dia pun mengamini. Kami masing-masing berpelukan, kemudian meninggalkan Hijir Ismail.
Sebelum keluar, saya dan Wawan mengambil kesempatan untuk merapatkan tubuh ke dinding Ka’bah. Saya memang sudah berniat ingin menyentuh Ka’bah terakhir kali sebelum pergi meninggalkan Makkah.
Dengan tangan menempel di dinding Baitullah, saya berdoa semoga Allah SWT memperkenankan saya bisa kembali mengunjungi rumah-Nya di lain waktu. Saya pun mendoakan orang tua, mertua, istri, anak, kakak dan adik-adik saya bisa dimudahkan jalan untuk beribadah langsung di depan Ka’bah.
Kabulkanlah, Ya Allah. Dan, akhirnya, saya pun lirih membatin, “Selamat tinggal Makkah”. Airmata meleleh. (Republika)
No comments:
Post a Comment